perwalian anak


BAB I
PENDAHULUAN
Allah tidak membiarkan manusia pria dan wanita berkumpul mengadakan hubungan semaunya sendiri layaknya hewan. Maka secara khusus Allah SWT menetapkan perkawinan, sebagai jalan untuk bolehnya berkumpul dan melakukan hubungan untuk melaksanakan perkawinan. Allah menetapkan peraturan-peraturan yang baik sehingga dengan manusia akan mempunyai keturunan yang lahir dan dibesarkan dalam pengayoman dan dipelihara dalam lingkungan keluarga mereka.
Dari hal tersebut di atas, maka agama islam menanggulangi keperluan manusia tentang penjelasan hukum-hukum yang khusus mengenai anak kecil, orang gila dan anak safih dalam bidang pemeliharaan dan perwalian. Dan hukum itulah yang akan kami paparkan dalam bab-bab yang ada pada makalah ini dengan memaparkan bagaimana hukum-hukum itu menjelaskan sejauh mana agama islam memelihara anak kecil, orang gila, dan anak safih dan menciptakan suasana yang nyaman untuk kebaikan dan kesejahteraan mereka.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Perwalian
Perwalian dalam arti umum yaitu “ segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”. Dan wali mempunyai banyak arti, antara lain:
1.      Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
3.      Orang shaleh (suci), penyebar agama.
4.      Kepala pemerintah.
Arti-arti tersebut di atas tentu saja pemakaiannya disesuaikan dengan konteks kalimat. Adapun yang dimaksud dengan “perwalian” di sini yaitu “pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya”. Menurut muhammad jawad mughniyah, pemeliharaan dan pengawasan harta itu bukan hanya untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku untuk orang gila,anak yang masih kecil, dan safih.[1]
B. Wali Anak Kecil, Orang Gila dan Safih
1. Latar  Belakang  Timbulnya  Perwalian Anak
Dalam  suatu  perkawinan,  antara  pria  dan  wanita  timbul  anak – anak . 
Orang  tuanyalah  yang  wajib  mengatur  serta  mengurus  kepentingan  anak-
anaknya  serta  wajib  melindungi  kepentingan  anak  tersebut.
Perwalian terhadap seorang anak ada tiga macam:
1.      Perwalian terhadap urusan mengasuh anak
2.      Perwalian terhadap dirinya
3.      Perwalian terhadap hak miliknya
Perwalian  itu  sendiri  timbul  apabila  orang  tuanya  tidak  sanggup  untuk  mengurus 
kepentingan  si  anak.
Dalam   KUH  Perdata  latar  belakang  tentang  pengaturan  perwalian  dalam 
KUH  Perdata  tiada  lain  adalah  agar  kepentingan  si  anak  yang  berada  di  bawah 
Perwalian  tidak  dirugikan  atau  memperoleh  jaminan  yang  cukup  dari  walinya, 
terutama  perihal  pemeliharaan  diri  dan  pengurusan  harta  bendanya.
Perwalian  menurut  UU  Perkawinan  mencakup  pribadi  maupun  harta  benda 
si  anak.  Perwalian  ini  terjadi  mungkin  disebabkan  karena  orangnya  tidak  mampu,  orang – tua  bercerai  dan
mungkin  disebabkan  karena  orang  tua  meninggal  dunia  dan  apabila   orang tua 
masih  sanggup  tidak  mungkin  ada  perwalian.[2]
Para ulama madzhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedang ibunya tidak mempunyai hak perwalian, kecuali menurut pendapat sebagian ulama syafi’i.
Selanjutnya, para ulama madzhab berbeda pendapat tentang wali yang bukan ayah.
Hambali dan maliki mengatakan: wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Kalau ayah tidak menerima orang yang diwasiati, maka perwalian jatuh kepada hakim syar’i. Sedangkan kakek, sama sekali tidak punya hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak bisa mempunyai posisi ayah. Kalau posisi kakek dari pihak ayah sudah seperti itu, maka apalagi kakek dari pihak ibu.
Hanafi mengatakan: para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu, kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada maka perwalian jatuh ke tangan qadhi.
Syafi’i mengatakan: perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek kepada orang yang menerima wasiat dari dari ayah. Seterusnya kepada penerima wasiat kakek, dan sesudah itu kepada qadhi.
Wasiat mempunyai dasar yang kuat dalam syari’at islam, yaitu yang bersumber dari al-Qur’an:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$#
"diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."[3]
Imamiyah mengatakan: perwalian, pertama-tama berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah) dalam derajat yang sama, dimana masing-masing mereka berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang lain.
Perwalian ini berakhir sampai si anak menginjak dewasa, sesuai dengan firman Allah SWT:
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr&
“dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
2.Perwalian untuk Orang Gila
Hukum orang gila persis dengan anak kecil, dan dikalangan ulama madzhab terhadap kesamaan pendapat dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil maupun sesudah baligh dan mengerti. Berbeda dari pendapat di atas, yaitu pendapat dari segolongan madzhab imamiyah. Yang disebut terkemudian ini membedakan antara orang gila sejak kecil dengan orang-orang yang gila ketika mereka menginjak usia dewasa. Para ulama madzhab imamiyah ini mengatakan: perwalian ayah dan kakek berlaku atas orang gila jenis pertama, sedangkan orang gila yang tergolong kategori kedua, perwaliannya berada di tangan hakim.


3.Perwalian Anak Safih
Imamiyah, hambali dan hanafi sepakat bahwa apabila seorang anak kecil telah menginjak baligh dalam keadaan mengerti lalu terkena ke-safih-an, maka perwaliannya berada di tangan hakim, tidak pada ayah dan kakek, apalagi pada orang-orang yang menerima wasiat dari mereka berdua.
C. Syarat-Syarat Wali
Ulama fikih mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat dijadikan wali (sama dengan persyaratan wali dalam hadhanah), syarat-syarat yang dimaksud adalah:
1.      Baligh dan berakal, serta cakap bertindak hukum. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang mabuk dan orang dungu tidak bisa dijadikan sebagai wali.
2.      Agama wali sama dengan agama orang yang diampunya, karena perwalian muslim kepada non muslim tidak sah.
3.      Adil, dalam artian istiqomah dalam agamanya, berakhlak baik dan senantiasa memelihara kepribadiannya.
4.      Wali mempunya kemampuan untuk bertindak dan memelihara amanah, karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang diampunya. Apabila orang itu lemah dalam memegang amanah, maka tidak sah menjadi wali.
5.      Wali senantiasa bertindak untuk kemaslahatan orang yang diampunya, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-an’am ayat 152:
Ÿwur  (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& ...
“dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat”.[4]

Para ulama madzhab sepakat bahwa tindakan-tindakan hukum yang dilakukan wali dalam harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang hal itu baik dan bermanfaat, tetapi juga tidak madharat. Sebagian ulama imamiyah mengatakan: hal itu dibenarkan manakala yang melakukannya adalah ayah atau kakek. Sebab yang disyaratkan di situ adalah bahwa tindakan tidak merusak dan bukan harus membawa maslahat. Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh hakim atau orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dibatasi pada tindakan-tindakan yang membawa manfaat saja. Bahkan sebagian ulama madzhab imamiyah tersebut mengatakan: tindakan yang dilakukan oleh ayah dinyatakan tetap berlaku, sekalipun membawa mafsadat dan madharat bagi si anak kecil.
Madzhab selain imamiyah mengatakan: tidak ada perbedaan antara ayah, kakek dan hakim serta orang yang diberi wasiat, dimana tindakan yang mereka lakukan tidak dipandang sah kecuali bila membawa manfaat. Pandangan serupa ini juga dianut oleh banyak ulama madzhab imamiyah.
Berdasarkan itu, maka wali boleh berdagang dengan menggunakan harta anak kecil, orang gila dan safih, atau menyerahkannya sebagai modal bagi orang yang berdagang dengannya.
Mengenai perwalian ini, kompilasi hukum islam memperinci sebagai berikut:
Pasal 27
1.      Perwalian hanya kepada anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan pernikahan.
2.      Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
3.      Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
4.      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adal, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
1.      Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
2.      Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
3.      Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 111
1.      Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
2.      Apabila perwalian telah berakhir, maka pengadilan agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadannya.
Pasal 112
Wali dapat menggunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir.[5]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perwalian adalah berpindahnya hak asuh orang tua kepada orang lain baik saudara maupun orang yang dipercayainya untuk mengurus anak kecil, orang gila dan anak safih yang disebabkan oleh perceraian, meninggal dunia ataupun orang tua tidak sanggup dalam mengurusinya.
Para ulama madzhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama, dan juga adil.

Komentar