BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di dalam
al-Qur’an surat al-Dzuriyat ayat 21 Allah berfirman: “Dan
tentang anfus kalian, apakah kalian tidak memperhatikan (“untuk menganalisisnya”). Seruan Allah ini
mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya menganalisis diri pribadi manusia. Di dalam al-Qur’an telah cukup banyak
diterangkan tentang konsep manusia. Salah satu yang diterangkan dalam al-Qur’an
adalah tentang rahasia-rahasia yang ada dalam diri manusia, sebagaimana firman Allah
dalam surat Fushilat ayat 53, yang artinya: “Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda
kekuasaan Kami pada seluruh ufuk dan di dalam “anfus”mu sendiri, sehingga jelas
bahwasannya al-Qur’an itu benar”.
Di dalam
ayat tersebut terdapat kata anfus
jama’ dari kata nafs yang banyak disebut dalam al-Qur’an. Konsep
tentang nafs dalam al-Qur’an banyak variasi maknanya. Hal
itu disebabkan karena berasal dari bervariasinya makna kata-kata nafs itu sendiri dalam sumbernya, yaitu berbagai
ayat dalam al-Qur’an. Quraish Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai aneka makna, sekali
diartikan sebagai totalitas manusia (QS:5;32), tetapi di tempat lain nafs menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri
manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS:13;11). Namun, secara umum dapat
dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia, menunjuk
kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.[1]
Berdasarkan hal inilah, maka perlu dibahas suatu konsep tentang hakekat manusia
yang tertera dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berbunyi nafs. Pembahasan tentang nafs sangat menarik untuk dikaji, karena di dalam
al-Qur’an cukup banyak menyebutnya. Hal ini menandakan bahwa pribadi manusia
atau nafs itu sangat penting untuk dibahas dan dianalisis.
A.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Hakikat Manusia?
2. Bagaimana
Hakikat Ruh menurut al-Qur’an, Sunnah dan Sufi?
3. Apa
itu al-Qalb, al-Aql, Sirr?
B.
Tujuan
1. Mengetahui
Hakikat Manusia.
2. Memahami
Pandangan Al-Qur’an, Sunnah dan Sufi
Terhadap Ruh.
3. Menambah
Pengetahuan Tentang al-Qalb, al-Aql, dan Sirr.
C.
Metode
Metode
yang digunakan dengan cara mengutip dari buku, blog di internet dengan
mengakses tema yang masih berkaitan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Menganalisis Hakikat Manusia
Menurut bahasa artinya kebenaran atau
sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan
hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu.
Karena itu dapat dikatakan hakikat syariat adalah inti dan jiwa dari suatu
syariat itu sendiri. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang
sebenarnya karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama
dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, ruh, nyawa, dan rahasia.
1. Pengertian
Manusia
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah
diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu
konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Al-Qur’an
menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah. Dalam al-Qur’an istilah manusia
ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan makna manusia, akan tetapi memilki
substansi yang berbeda yaitu kata basyar,
insan dan an-nas.
Kata basyar dalam al-Qur’an disebutkan 37 kali salah satunya
al-kahfi : innama anaa basyarun mitslukum
(“sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu”). Kata basyar selalu
dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau
lempung kering (al-hijr : 33 ; al-ruum : 20), manusia makan dan minum
(al-mu’minuum : 33).
Kata insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali,
diantaranya (al-alaq : 5), yaitu allamal
insaana maa lam ya’lam (“dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya”). Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau
spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul
amanah. Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke
arah kesempurnaan.
Kata an-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti az-zumar : 27
walaqad dharabna linnaasi fii haadzal
quraani min kulli matsal (“sesungguhnya telah kami buatkan bagi manusia
dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan”). Konsep an-nas menunjuk pada
semua manusia sebagai makhluk social atau secara kolektif.
Dengan demikian al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk
biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar, diartikan sebagai
makhluk sosial yang tidak biasa hidup tanpa bantuan orang lain dan atau makhluk
lain.
Ibnu sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan bahwa
manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk ekonomi. Manusia adalah
makhluk social untuk menyempurnakan jiwa manusia demi kebaikan hidupnya, karena
manusia tidak hidup dengan baik tanpa ada orang lain. Dengan kata lain manusia
baru bisa mencapai kepuasan dan memenuhi segala kepuasannya bila hidup
berkumpul bersama manusia.
2. Eksistensi
dan Martabat Manusia
Dibandingkan dengan makhluk lainnya, manusia mempunyai
kelebihan. Kelebihan itulah yang membedakan antara manusia dengan makhluk
lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang
bagaimanapun, baik di darat, di laut, maupun di udara. Sedangkan binatang hanya
mampu bergerak di ruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak di
darat dan di laut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa
melampaui manusia.
Di samping itu, manusia di beri akal dan hati sehingga dapat
memahami ilmu yang diturunkan Allah. Allah menciptakan manusia dalam keadaan
sebaik-baiknya (at-tiin,95:4). Manusia tetap bermartabat mulia, kalau mereka
sebagai khalifah tetap hidup dengan ajaran Allah (QS. Al-an’am:165). Oleh
karena ilmu manusia di lebihkan dari makhluk lainnya.
A.
Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia adalah menyembah kepada
penciptanya yaitu Allah. Pengertian penyembahan kepada Allah tidak bisa di
artikan secara sempit, dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin
dalam shalat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia dalam hukum Allah
dalam menjalankan kehidupan di muka bumi, baik yang menyangkut hubungan manusia
dengan tuhan maupun manusia dengan manusia.
Oleh kerena
penyembahan harus dilkukan secara suka rela, karena Allah tidak membutuhkan
sedikitpun pada manusia karena termasuk ritual-ritual penyembahannya. Penyembahan
yang sempurna dari seorang manusia adalah akan menjadikan dirinya sebagai
khalifah Allah di muka bumi dalam mengelola alam semesta. Keseimbangan pada
kehidupan manusia dapat terjaga dengan hukum-hukum kemanusiaan yang telah Allah
ciptakan.
B.
Fungsi dan Peran Manusia
Berpedoman pada al-Qur’an surah al-baqarah ayat 30-36,
status dasar manusia yang diplopori oleh adam AS adalah sebagai khalifah. Jika
khalifah diartikan sebagai penerus ajaran Allah maka peran yang dilakukan
adalah penerus pelaku ajaran Allah dan sekaligus menjadi pelopor membudayakan
ajaran Allah. Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang
ditetapkan oleh Allah diantaranya adalah:
Ø Belajar
Ø Mengajarkan ilmu
Ø Membudayakan ilmu
Oleh
karena itu semua yang dilakukan harus untuk kebersamaan sesama ummat manusia
dan hamba Allah, serta pertanggung jawabannya pada 3 instansi yaitu pada diri
sendiri, pada masyarakat, pada Allah SWT.
3.
Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba dan Khalifah Allah SWT
a. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
SWT.
Makna yang esensial dari kata abd’ (hamba) adalah ketaatan,
ketundukan, dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allah SWT yang
dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan
keadilan.
Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahlikun naran (“jagalah
dirimu dan keluargamu dengan iman dari api neraka”).
b. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah
Allah SWT
Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat dan harus
dipertanggungjawabkan dihadapannya. Tugas hidup yang di muka bumi ini adalah
tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah di muka bumi, serta
pegolahan dan pemeliharaan alam.
Khalifah
berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah
memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan
yang diberikan manusia bersifat kreatif yang memungkinkan dirinya mengolah
serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.
Oleh karena itu hidup manusia, hidup seorang muslim akan
dipenuhi dengan amaliah. Kerja keras yang tiada henti sebab bekerja sebagai
seorang muslim adalah membentuk amal shaleh.
4. Derajat
dan Tingkatan Manusia
Kemampuan manusia dalam
mengendalikan hawa nafsunya berbeda-beda. Imam al-Ghazali menjelaskan tiga
tingkatan manusia dalam hal ini. Pertama, orang yang dikuasai oleh hawa nafsu
dan bahkan menjadikannya Tuhan sesembahannya. Mereka yang terbelenggu oleh hawa
nafsunya ini akan cenderung pada kesesatan, karena pendengaran dan kalbunya
sudah terkunci. Mereka diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh karena itu
tidak layak dijadikan pemimpin.
Kedua, orang yang
selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya. Maka terkadang ia mampu
mengendalikannya dan terkadang tidak. Mereka ini tergolong mujahidin. Jika saat
kematian datang menjemputnya, sedangkan ia dalam usaha mengendalikan hawa
nafsunya, maka ia tergolong syuhada'. Sebab ia sedang menyibukkan dirinya
menjalankan perintah Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu seperti
memerangi musuhnya.
Ketiga, golongan yang
berhasil mengendalikan hawa nafsu dan mengalahkannya dalam kondisi apapun.
Mereka inilah golongan penguasa sejati yang telah terbebas dari belenggu hawa
nafsu. Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh orang yang menduduki
peringkat ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa setan akan mengambil jalan yang
tidak dilalui Umar.
Oleh sebab itu, dalam
rangka melepaskan belenggu nafsu dan untuk meraih kebahagiaan hakiki, beliau
menjelaskan empat kiat, yaitu mengenal diri, mengenal Pencipta, mengenal
hakekat dunia dan mengenal hakekat akherat. Dalam proses mengenali diri, Imam
al-Ghazali memberikan bahan introspeksi harian (muhasabah). Misalnya: Anda itu
apa? Anda datang ke tempat ini dari mana? Untuk tujuan apa Anda diciptakan?
Karena apa Anda berbahagia? Dan kenapa juga Anda harus merasa sengsara?
Masih dalam rangka
mengenali diri, Imam al-Ghazali menjelaskan adanya empat potensi dalam diri
manusia, dimana masing-masing memiliki kebahagiannya sendiri. Keempat potensi
tersebut adalah sifat binatang ternak, sifat binatang buas, sifat setan dan
sifat malaikat. Beliau pun menguraikan sebagai berikut: "Sesungguhnya
kebahagiaan binatang ternak itu di saat makan, minum, tidur dan melampiaskan
hasrat seksnya. Jika Anda termasuk golongan mereka, maka bersungguh-sungguhlah
dalam memenuhi kebutuhan perut dan kemaluan. Kebahagiaan binatang buas itu
dikala ia berhasil memukul dan membunuh. Kebahagiaan setan itu ketika ia
berhasil melakukan makar, kejahatan dan tipu muslihat. Jika Anda berasal dari
golongan mereka, maka sibukkanlah diri Anda dengan kesibukan setan. Sedangkan
kebahagiaan malaikat itu tatkala ia menyaksikan indahnya kehadiran Tuhan. Maka
jika Anda termasuk golongan malaikat, bersungguh-sungguhlah dalam mengenali
asal-usul Anda, hingga mengetahui jalan menuju kepada-Nya dan terbebas dari
belenggu syahwat dan amarah". (lihat: Kimiya al-Sa'adah).
Menurut Imam
al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu pengetahuan.
Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu, maka orang itu
ibarat orang yang habis seleranya untuk memakan makanan yang baik, atau seperti
orang yang lebih suka makan tanah daripada makan roti. Sebab kebahagiaan hakiki
adalah hakekat spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang
hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup. Kesemuanya itu berawal dari ilmu
dan bermuara pada mahabbatullah (cinta kepada Allah).
Allah SWT telah
memberikan banyak kelebihan kepada manusia, tidak saja dalam potensi fisik yang
dimiliki manusia, tetapi penciptaan alam ini diperuntukkan bagi manusia untuk
dimanfaatkannya semaksimal mungkin. Bahkan seorang pakar astronomi mengatakan
bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia, hal ini disebabkan karena
semua manfaat penciptaan alam seperti bumi, matahari, langit, dan sebagainya
dirasakan oleh manusia. Dengan kelebihan dan keutamaan yang dimiliki manusia,
maka wajarlah manusia diangkat sebagai khalifah di bumi yang ditugaskan untuk
memelihara bumi dan memelihara apa saja yang ada di bumi. Kelebihan ini pula
yang menjadikan manusia dimuliakan dibandingkan dengan makhluknya. Semestinya
kelebihan ini menjadikan manusia bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan
kita dan membalas kebaikan Allah ini dengan beribadah. Ibadah walaupun suatu
beban karena keistimewaan yang dimiliki manusia, tetapi ibadah merupakan
kegiatan untuk mengembalikan diri kita menjadi fitrah sehingga dalam
pelaksanaan ibadah tersebut tidak lagi menjadi beban.
Kita perlu mengenal
manusia tidak dari segi kelebihannya saja, tetapi juga kelemahannya sehingga
pengenalan ini dapat menyadarkan manusia dalam berbuat dan bertindak. Beberapa
kelemahan manusia yang disebutkan Allah SWT selain kejiwaan yang keluh kesah
juga bersifat lemah, bodoh, dan bebas memilih yang memungkinkan manusia memilih
jalan salah sehingga masuk neraka. Kelemahan ini perlu diwaspadai oleh manusia
agar dapat mengendalikan dirinya dan mengatasi kelemahannya dengan cara
mengamalkan nilai-nilai Islam.[2]
B. Menganalisis Hakikat Ruh Menurut Al-Qur’an Hadits dan
Sufi
Istilah ini juga memiliki dua makna; pertama, sebuah jenis (benda)
yang sangat halus yang semayam (sumbernya berasal dari) dalam rongga hati
jasmani. Kemudian ruh itu bertebaran keseluruh tubuh melalui urat-urat yang
bercabang-cabang. Mengalirnya ruh diseluruh tubuh itu, menimbulkan cahaya
kehidupan, menumbuhkan perasaan, melahirkan pendengaran, penglihatan dan
penciuman. Ia ibarat cahaya sebuah lentera yang memancar, menembus keseluruh
penjuru dan bagian-bagian rumah. Kehidupan ibaratnya sebuah cahaya yang
terdapat pada setiap dinding rumah, sementara ruh ibarat sebuah lentera, yang
setiap kali ia sampai pada sebuah ruangan, maka ruangan itu menjadi terang
karenanya. Adapun para ahli medis, apabila menyebut tentang ruh, maka mereka
mengibaratkan dengan sebuah pelita yang mampu menerangi seluruh penjuru rumah.
Ia ibarat asap atau gas yang halus yang dimatangkan oleh kehangatan hati.
Namun bukan itu yang dimaksud dalam pembahsan ini, sebab yang
demikian itu merupakan objek pembahasan para dokter yang berkepentingan dengan
pengobatan jasmani. Berbeda dengan tujuan para ahli kesehatan agama, mereka
memahami sebagai pengobatan yang menggiring hati manusia menuju hadirat Tuhan
sekalian alam, dan sama sekali tidak terkait dengan pembahasan substansi
(pokok) ruh itu sendiri. Makna kedua adalah al-Lathifah yang berpotensi
untuk mengenal dan untuk mengetahui makna “hati”.[3]
Kaum agamawan berkata bahwa pengetahuan tentang manusia yang
demikian itu dikarenakan manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dalam
unsur penciptaannya terdapat ruhilahi, sedangkan manusia tidak diberi
pengetahuan mengenai ruh itu sendiri. Allah berfirman:
štRqè=t«ó¡o„ur Ç`tã Çyr”9$# ( È@è% ßyr”9$# ô`ÏB ÌøBr& ’În1u‘ !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ
85. dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit".
Untuk mengenal siapa manusia adalah dengan cara merujuk kepada
al-Qur’an yang merupakan langkah pertama yang harus dilakukan umat islam pada
setiap kepentingan dengan ajaran Allah. Sebab al-Qur’an adalah pegangan utama
untuk seluruh aspek kehidupan umat islam. Termasuk di dalamnya sebagai pegangan
memahami filsafat manusia.[4]
C.
Menganalisis Daya-Daya Ruhani
1.
Al- Nafs (Jiwa)
An-Nafs dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, diartikan
dengan Jiwa atau diri. Padahal sesungguhnya An-Nafs ini menunjuk kepada dua
maksud, yaitu : hawa nafsu dan hakikat dari manusia itu sendiri (diri manusia).
a. Hawa Nafsu
Nafsu yang mengarah kepada sifat-sifat tercela pada manusia. Yang akan
menyesatkan dan menjauh dari Allah. Inilah yang oleh Rasulullah SAW dalam
hadits yang diriwayatkan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas :
"Musuhmu yang
terbesar adalah nafsumu yang berada diantara kedua lambungmu".
"Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk". (QS Yusuf : 53)
"... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...". (QS Shaad : 26)
"Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk". (QS Yusuf : 53)
"... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...". (QS Shaad : 26)
b. Diri Manusia
Diri manusia ini apabila tenang, jauh dari goncangan disebabkan pengaruh
hawa nafsu dan syahwat, dinamakan Nafsu Muthmainnah.
"Hai jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu,
merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya". (QS Al
Fajr : 27-28)
Namun diri manusia yang tidak sempurna ketenangannya, yang mencela ketika
teledor dari menyembah Tuhan, disebut Nafsu Lawwamah.
"Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela kejahatan (Nafsu
Lawwamah)". (QS Al Qiyamah : 2)
2.
Al-Aql
Ulama’ tasawuf
menyebutkan,” an aqlu lil maqkuulat “ , yakni akal itu untuk menerima perkara yang masuk
akal. Maqkuulat itu pada syariat dan memberi kefahaman
seperti pemahaman dalam pembacaan Kitab Tauhid, Kitab Tafsir dan
seumpamanya. Jadi penerimaan akal lebih kepada perkara yang zahir.
Apabila sampai bab
hakikat dan makrifat, akal tidak boleh memainkan peranannya.Masa itulah gunanya hati,
ruh dan sirr. Tetapi kita masih tidak dapat membedakan antara peranan
akal, hati, ruh dan sirr itu. Kita hanya tahu dan paham tentang akal saja karena hati, ruh dan sirr itu sangat
rahasia dalam tubuh kita.
3.
Al-Qalb
Diri manusia dapat dilihat secara indrawi dengan perilaku dan perangai
seseorang. Dan seorang berperilaku, seorang berperangai, merupakan cerminan
dari hatinya. Sehingga untuk mengenal diri kita, kita harus memulainya dengan
mengenal hati kita sendiri. Hati itu terdapat 2 jenis :
a. Hati Jasmaniyah
Hati jenis ini
bentuknya seperti buah shaunaubar. Hewan memilikinya, bahkan orang yang telah
matipun memilikinya.
b. Hati Ruhaniyyah
Hati jenis inilah yang
merasa, mengerti, dan mengetahui. Disebut pula hati latifah (yang halus) atau
hati robbaniyyah. Dalam kajian kita, yang dituju dengan kata hati atau qalb
adalah hati jenis 2, hati Ruhaniyyah. Karena Hati inilah yang merupakan
tempatnya Iman :
Maka dengan hatilah,
seseorang dapat merasakan iman. Dengan hatilah seorang hamba dapat mengenal
Rabb-nya.
4. Al-Ruh
Perkataan Ruh,
mempunyai dua arah. Sebagai nyawa dan sebagai suatu yang halus dari manusia.
a. Nyawa
Pemberi nyawa bagi
tubuh. Ibarat sebuah lampu yang menerangi ruangan. Ruh adalah lampu, ruangan
adalah tubuh. Mana yang terkena cahaya lampu akan terlihat. Mana yang terkena
ruh akan hidup.
b. Yang Halus dari Manusia
Sesuatu yang merasa,
mengerti dan mengetahui. Hal ini yang berhubungan dengan hati yang halus atau
hati ruhaniyah.
Dalam Al Qur'an, Allah
SWT menggunakan kata Ruh dengan kata Ruhul Amin, Ruhul Awwal, dan Ruhul Qudus.
Adapun maksud-maksud
dari kata tersebut merujuk kepada keterangan yang berbeda-beda yaitu :
1. Ruhul Amin
Yang dimaksud dengan
ini adalah malaikat Jibril.
"Dan sesungguhnya
Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun
oleh Ar-Ruhul Amin". (QS Asy-Syu'araa' : 192-193)
2. Ruhul Awwal
Yang dimaksud dengan
ini adalah nyawa atau sukma manusia.
3. Ruhul Qudus
Yang dimaksudkan dengan
ini bukanlah malaikat Jibril, tetapi ruh yang datang dari Allah, yang
menguatkan, menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah :
"Ruhul Qudus menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk
meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta
khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS An
Nahl : 102)
"... dan telah
Kami berikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya
dengan Ruhul Qudus... ". (QS Al Baqarah :87)
"...Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan ruh yang datang dari pada-Nya...". (QS Al
Mujadillah : 22)
5. Al-Sirr
Sirr itu adalah lubuk hati,“sirr lil tajalliyat”. Tempat
simpanan ilmu, kefahaman, iman dan apa yang dimusyahadahkan. Terbit niat itu dari
sirr, sampai ke otak (akal) kemudian barulah ke hati. Hatilah yang membuat
keputusannya.
Semua itu adalah ruh sepertimana tangan, kaki, mata
itu sebagai jasad. Kata Imam Ghazali, ”nurrun latifatun robbaniyyun”,
inilah ruh yang mana akal itu menerima, hati itu memahami, ruh itu menyaksikan perkara yang
maknawi dan sirrun itu menyimpan rahasia. Bagaimana jasad itu ada berbagai nama
berdasarkan kegunaannya, maka begitu jugalah dengan ruh yang dinamakan dengan
pelbagai nama berdasarkan kegunaannya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis,
psikologis, dan sosial. Di samping itu, manusia di beri akal dan hati sehingga
dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah. Allah menciptakan manusia dalam
keadaan sebaik-baiknya. Kemampuan manusia dalam mengendalikan
hawa nafsunya berbeda-beda.
Mengalirnya
ruh diseluruh tubuh itu, menimbulkan cahaya kehidupan, menumbuhkan perasaan,
melahirkan pendengaran, penglihatan dan penciuman.
penerimaan akal lebih kepada perkara yang zahir. Apabila
sampai bab hakikat dan makrifat, akal tidak boleh memainkan peranannya.
DAFTAR PUSTAKA
v Al-Qur’an al-Karim
v Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. Ajib al-Qalb Kimya al-Sa’dah,
trjm. KH.A. Mustofa Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif.
v Nawawi, Rif’at Syauqi. 2001.
Kepribadian Qur’ani. Jakarta: Amzah.
v Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
v http://habibbanahsan.blogspot.com/2012/03/tentang-hakikat-manusia.html.dipostkan
hari Senin,12 Maret 2012, diakses hari Kamis, 27 September 2012.
[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal.285-286.
[2]
http://habibbanahsan.blogspot.com/2012/03/tentang-hakikat-manusia.html,
dipostkan hari Senin,12 Maret 2012, diakses hari Kamis, 27 September 2012.
[3] Imam Abu
Hamid al-Ghazali, Ajib al-Qalb Kimya al-Sa’dah, trjm. KH.A. Mustofa
Bisri, pustaka progresif, surabaya, 2002.
[4] Rif’at
Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani. Amzah, Jakarta, 2001.
Komentar
Posting Komentar